Tak lama setelah Proklamasi 1945, pemimpin pusat macam Sukarno, Hatta, Subardjo dan Amir Sjarifudin menyatakan bahwa “Eksistensi pengakuan pernyataan Pegangsaan harus didukung kekuatan riil di daerah, Belanda atau pihak asing hanya akan mengakui kemerdekaan itu bila kekuatan-kekuatan daerah mendukung” memang pada hari-hari pertama Jawara Banten sudah mendukung pernyataan kemerdekaan RI dengan mengirimkan pendekar-pendekarnya mengamankan Jakarta. Kekuasaan Jepang di seluruh wilayah Banten direbut oleh para pendekar. Tapi kekuasaan pendekar itu bukan jenis kekuasaan formal yang teratur rapi. Begitu juga dengan dukungan jago-jago silat Djakarta dan Bekasi yang kemudian membentuk laskar bersendjata untuk langsung tarung di jalan-jalan Cikini sampai Kerawang. Kekuasaan Informal langsung mendukung Sukarno. Tapi bagaimana dengan kekuasaan formal yang telah didukung administrasi rapi dan memiliki massa pengikut jutaan. Kekuasaan formal itu terletak di Solo dan Yogyakarta.
Solo dan Yogyakarta disebut dengan daerah Voorstenlanden, atau daerah yang diberi kekuasaan khusus oleh Hindia Belanda sebagai buntut perjanjian Giyanti 1755. Setiap terjadi suksesi Belanda sebagai pemerintah pusat bernegosiasi terus menerus dengan raja baru untuk menambah konsesi wilayah dan peraturan-peraturan baru. Lama kelamaan daerah Voorstenlanden hanya sebatas wilayah Yogyakarta dan Surakarta seluruh wilayah Mataram asli semuanya masuk ke dalam pemerintahan Hindia Belanda. Namun wilayah boleh direbut tapi pada hakikatnya rakyat Jawa Tengah dan Sebagian Jawa Timur menganggap raja mereka berada di Solo dan Yogya. Seperti orang Madiun yang lebih berorientasi pada Mangkunegaran atau Blitar yang menganggap Yogya lebih representatif ketimbang Solo. Namun terlepas dari itu semua raja-raja Yogya dan Solo dianggap bagian dari trah resmi raja-raja Jawa.
Pengumuman kemerdekaan Indonesia dilakukan pada sebuah rumah di Pegangsaan ini artinya : Kemerdekaan itu lahir bukan dalam situasi formal. Pemerintahan pendudukan Jepang tidak lagi pegang kuasa di Indonesia setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom dan Hirohito dipaksa menandatangani surat pernyataan kalah tanpa syarat dihadapan Jenderal MacArthur dan sebarisan perwira AS bercelana pendek. -Pemerintahan Jepang dipaksa oleh pihak sekutu sebagai pemenang perang untuk mengamankan seluruh aset-aset di wilayah Asia yang diduduki Jepang termasuk Indonesia. Namun perwira-perwira samurai itu juga sudah pernah berjanji pada sebarisan kaum Nasionalis untuk memerdekakan Indonesia, tapi tujuan kemerdekaan itu adalah membentuk : Persekutuan bersama Asia Timur Raya. Kemerdekaan itu ditunda beberapa kali sehingga sempat membuat berang Sukarno. Namun pada malam 16 Agustus 1945 Laksamana Maeda dengan garansi dirinya pribadi membantu kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk pemenuhan janji. Hanya saja statement kemerdekaan dikesankan bukan dari Jepang.
Dan Sukarno butuh formalitas. Ia butuh rakyat Jawa, hatinya orang Jawa untuk berdiri dibelakang dia setelah pengumuman kemerdekaan. Sementara Tan Malaka sendiri yang belakangan muncul meragukan kemampuan Sukarno menggalang dukungan rakyat secara utuh, Tan Malaka bilang pada Subardjo “Suruh Sukarno cepat cari dukungan di tingkat daerah, dia jangan bermain di wilayah elite melulu”. Apabila tidak mendapat dukungan formal minimal di Jawa maka sekutu dengan cepat bisa melikuidir Indonesia.
Barulah pada pagi hari saat Sukarno sedang rapat dengan beberapa menteri datang sebuah surat kawat (telegram) dari Yogyakarta. Sukarno membuka telegram itu dan langsung melonjak dari tempat duduknya. Mukanya yang sedari awal kusut kurang tidur sontak gembira. Di depan menterinya Sukarno berkata “Surat ini adalah langkah awal eksistensi secara de facto bangsa Indonesia, sebuah functie yang bisa mendobrak functie-functie selanjutnya. De Jure kita sudah dapatkan secara aklamasi pada Proklamasi Pegangsaan tapi De Facto surat ini menjadi pedoman kita semua”. Surat 5 September 1945 yang berisi maklumat itu berasal dari Sri Sultan yang berisi bahwa :
Pertama : Bahwa daerah istimewa Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah Istimewa dari negara Republik Indonesia.
Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan oleh kerna itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan Ngayogyokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan lainnya kami yang pegang.
Ketiga : Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat dengan pemerintahan pusat negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Tiga poin dalam isi surat itu sesungguhnya adalah sebuah negosiasi politik kepada Pemerintahan Republik Indonesia dari kekuasaan Yogya. Bahwa Raja Yogya bersedia masuk ke dalam struktur Indonesia apabila kekuasaan di Yogyakarta terjamin oleh Pemerintahan RI. Sesungguhnya Sri Sultan membuat statement ini adalah kecerdasan Sri Sultan karena ia tidak mau kelak Yogya akan banjir darah oleh revolusi sosial kemudian Yogya dipimpin oleh kelompok-kelompok revolusioner yang tidak bertanggung jawab. Pandangan visioner Sri Sultan ini terbukti jitu : Beberapa waktu kemudian, Kesultanan Deli di Sumatera Timur dan Surakarta terjadi revolusi sosial. Seluruh bangsawan Deli dibantai oleh pasukan yang mendukung terjadinya gerakan anti kerajaan sementara di Surakarta yang sebelumnya diberikan status juga oleh Jakarta sebagai DIS : Daerah Istimewa Surakarta, terkena serbuan pasukan Tan Malaka yang menolak adanya pemerintahan Swapradja, akibatnya status DIS dihapus karena para penguasa Solo tidak bisa mengendalikan keadaan yang take over Solo malah anak-anak muda yang tergabung dalam Tentara Pelajar. Saat itu Sunan Pakubuwono XII dan Sri Mangkunagoro VIII masih bimbang mau berpihak pada Republik atau menunggu Belanda datang. Pada tahun 1940-an seluruh penguasa Kasunanan Solo, Mangkunegaran, Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta adalah raja-raja baru yang terdiri dari anak muda berusia 30-an tahun. Rupanya Sunan PB XII dan Mangkunegoro VIII tidak memiliki kejelian politik seperti Hamengkubuwono IX yang masuk langsung ke dalam struktur pemerintahan RI dan mengendalikan Angkatan Bersenjata serta mengamankan rakyat Yogya dari “Kekacauan-Kekacauan Revolusi”.
Tindakan Sultan yang cepat ini justru menguntungkan jalannya sejarah Republik Indonesia di kemudian waktu, karena Sultan dengan kekuasaannya menciptakan suatu daerah kantong yang terkendali. Daerah kantong inilah yang kemudian dijadikan basis perjuangan menegakkan pemerintahan Republik setelah sekutu masuk ke Tanjung Priok. Saat sekutu masuk yang kemudian diboncengi NICA membuat penggede-penggede Republik terancam nyawanya. Sjahrir sendiri pernah merasakan mobilnya diberondong peluru. Hampir tiap malam Sukarno berpindah-pindah tempat karena diburu pasukan intel Belanda, bahkan sering Sukarno tidur di kolong tempat tidur. Hal ini jelas membuat pemerintahan tidak berjalan efektif. Adalah Tan Malaka sendiri yang menganjurkan agar Jakarta segera dikosongkan dari pemerintahan Republik dan Pemerintahan menyingkir ke pedalaman sembari mengefektifkan pemerintahan. Tapi pedalaman mana yang bisa dikendalikan.
Dan Hatta menjawab : “Yogyakarta adalah tempat yang tepat, karena di wilayah sana semua rakyatnya dikendalikan oleh Sultan hanya saja apakah Sultan akan menjamin kita” mendengar ucapan Hatta, Sukarno memerintahkan stafnya menghubungi Sri Sultan. Dalam pembicaraan tidak resmi ditelepon, Sri Sultan berkata :”Saya Sultan Yogya, Sabdo Pendhito Ratu. Menjamin bahwa Pemerintahan Republik Indonesia aman di Yogyakarta” Jaminan Sri Sultan inilah yang dijadikan titik paling penting keberadaan Republik Indonesia ditengah ancaman serbuan pasukan bersenjata Belanda.
Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa untuk menghadapi sekutu dan melobi penggede-penggede sekutu adalah Sutan Sjahrir yang ditinggalkan di Jakarta sementara Presiden dan Wakil Presiden sebagai lambang kekuasaan negara dibawa ke Yogyakarta dengan Kereta Luar Biasa (KLB) yang sekaligus memboyong seluruh keluarga mereka. Keberangkatan KLB itu juga menandai perpindahan Ibukota. Peristiwa itu terjadi pada 4 Januari 1946.
Di Yogyakarta, Sri Sultan bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan seluruh penggede Yogya. Seluruh pejabat ditempatkan dilingkungan Keraton. Sukarno ditempatkan di Gedong Agung dan Sri Sultan menghormati kekuasaan Republik Indonesia walaupun sesungguhnya Republik ini baru berdiri. Pejabat-pejabat RI itu rata-rata dalam kondisi miskin. Sultan sendiri yang kerap mengambil emas simpanannya untuk membiayai seluruh operasional pemerintahan. Sri Sultan memberikan tanpa dihitung bahkan pernah gaji pegawai Republiek belum terbayar Sri Sultan dengan dana kekayaan pribadi sendiri membiayai gaji-gaji pegawai republiek.
Tahu bahwa Yogyakarta menjadi pusat kendali Republik. Tentara Belanda tidak berani langsung mengebom Yogya. Hal ini terjadi karena Ratu Juliana dulu adalah teman sekolah Sri Sultan di Belanda. Mereka berdua dari SD sampai Kuliah berada dalam lingkungan yang sama. Sri Sultan dipanggil Juliana sebagai Hengky. Bahkan ada gosip Ratu Juliana memiliki cinta sejatinya pada Sri Sultan. Sebelum Yogya digempur pesan dari Kerajaan Belanda bahwa nyawa Sri Sultan tidak boleh dikutak-kutik. Karena sikap keras Juliana yang tidak memperbolehkan kekuatan militernya menyenggol Sri Sultan maka staff militer di Belanda mengambil kebijakan untuk mempengaruhi Sri Sultan agar berpihak pada Belanda.
Sri Sultan ditawari menjadi pemimpin pemerintahan bersama Indonesia-Belanda tapi Sultan menolak. Baginya Indonesia adalah tujuan hidupnya. Karena tidak sabar atas sikap keras Sri Sultan yang berdiri dibelakang pemerintahan Republik maka Belanda mau tidak mau harus menguasai Yogyakarta.
Pada tahun 1948 setelah terjadinya geger Madiun, Belanda punya taktik yang khas dengan caranya yang licik menikam pemerintahan Republik di Yogya. Belanda awalnya mengadakan perjanjian kerjasama latihan militer dengan TNI sebagai wujud gencatan senjata tapi kemudian malah dari Semarang pasukan Van Langen menerobos Yogya dengan Operasi Kraai. Sepuluh ribu penerjun payung menghujani udara Maguwo, Yogyakarta diserbu tanpa persiapan.
Saat itu yang jadi komandan keamanan Kota Yogya adalah Suharto (kelak jadi Presiden RI kedua).Tapi entah pasukan Suharto ada dimana. Letkol Latif Hendraningrat sendiri langsung mencari-cari Suharto tapi tidak ketemu. Sudirman masih terbaring sakit karena paru-parunya menghitam. Sedangkan Bung Karno cs sedang rapat di Gedong Agung.
Pasukan Van Langen dengan cepat masuk ke Gedong Agung. Tapi sebelumnya terjadi perdebatan keras. Sukarno menyerah atau melawan sekutu. Sukarno berpendapat bahwa dengan ia menyerah maka dunia internasional akan meributkan agresi militer Belanda dan memberikan dukungan bagi Indonesia. Tapi pihak Sudirman menghendaki diadakannya perlawanan total, Sukarno dan Hatta harus ikut berperang di pedalaman. Sukarno memilih tidak ikut cara Sudirman.
Sebelum ditangkap pasukan Van Langen Sukarno berpesan pada Sri Sultan agar keutuhan Republik Indonesia dijaga. Sultan hanya mengangguk namun sebagai Raja Jawa ia selalu memenuhi janji.
Sri Sultan berpikir keras dengan apa Yogyakarta harus mendapatkan kemenangan politiknya. Suatu sore Sri Sultan mendengar perdebatan melalui BBC bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Delegasi Belanda di PBB menyatakan “Pemerintahan Illegal Republik Indonesia sudah Hilang secara de facto yang berkuasa adalah Belanda kota Yogya sepenuhnya dibawah kendali Pemerintahan Belanda”. Mendengar hal itu Sultan mendapat ide untuk mengejutkan dunia Internasional. Dipanggilnya Suharto sebagai Komandan Wehrkreise X untuk membangun serangan kejutan. Lalu terjadilah Serangan Umum 1949 yang kemudian mengubah jalannya sejarah. Setelah serangan umum Pemerintahan Belanda di PBB kalah suara dan dukungan Internasional mendukung Pemerintah Republik Indonesia sehingga pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan RI. Karena Juliana sangat membenci Sukarno maka yang datang menandatangani adalah Hatta sementara di dalam negeri yang menandatangani adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX di depan AJ Lovink.
Penandatangan Pengakuan Kedaulatan adalah pengakuan de facto. Dan Republik Indonesia yang masih bayi benar-benar diselamatkan oleh Sri Sultan sebagai pengasuh yang benar-benar menjamin keselamatannya. Lalu setelah puluhan tahun sejarah hendak dilupakan. Masuknya kelompok-kelompok dogol di Jakarta dan menguasai Politik Indonesia. Hanya karena ingin menggusur kedudukan Sri Sultan sebagai kekuatan politik pada pertarungan 2014 maka mereka ingin menghapuskan status daerah istimewa Yogya sekaligus ingin menghilangkan kekuasaan de facto Raja Jawa yang berada dalam lingkungan bangsa Indonesia.
Benar kata Pram : “Sebuah bangsa yang tidak mengerti sejarahnya sendiri hanya akan melahirkan ketololan-ketololan”.
sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2010/12/09/mengapa-yogyakarta-disebut-daerah-istimewa-324853.html